Fitnah yang tanpa disadari
Dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/09/19/waspada-manhaj-shahafi/ telah disampaikan bahwa pengakuan yang sering mereka lontarkan yang dapat membuat orang awam terperosok mengikuti mereka adalah bahwa mereka beragama mengikuti pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf)
Permasalahannya adalah bagaimana mereka mengetahui pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf) sedangkan mereka tentu tidak lagi bertemu dengan para Sahabat.
Apakah ketika mereka membaca hadits maka dapat dikatakan mereka telah mengetahui pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf) ?
Mereka berijtihad dan beristinbat dengan pendapat mereka terhadap hadits tersebut. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf). Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad dan istinbat mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Apapun hasil ijtihad dan istinbat mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat. Jika ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap para Sahabat. Jika telah memfitnah para Sahabat maka bersiap-siaplah akan menempati tempat duduknya di neraka
Jadi pada kenyataannya “ajakan” untuk mengikuti pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf) adalah ajakan untuk “kembali kepada pada Al Qur’an dan As Sunnah” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri.
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/09/18/dari-lisan-ke-lisan/ bahwa belajar dari buku dengan bahasa tulisan mempunyai keterbatasan dibandingkan dengan bertalaqqi , bertemu atau mengaji dengan guru.
Pada hakikatnya ruh ilmuNya mengalir diantara lisan ke lisan para ulama yang sholeh secara turun temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat.
Begitu juga mendengarkan kaset atau melihat dan mendengarkan siaran televisi atau rekaman video juga tidak termasuk bertalaqqi karena tidak terjadi interaksi sehingga sama dengan berguru dengan buku
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Salah satu ulama yang memelopori mendalami ilmu agama bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri adalah Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang dapat kita ketahui dari biografinya seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Hal serupa diikuti pula oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang menjadikan Ibnu Taimiyyah sebagai ulama panutannya sebagaimana informasi dari kalangan mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam seperti pada http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Pada kenyataannya pula Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih, sebagaimana informasi dari http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
****** awal kutipan ******
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat(salinan)Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan, seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu `Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu.
****** akhir kutipan ******
Orang awam yang terperosok mengikuti mereka dikarenakan terhipnotis pada perkataan-perkataan seperti
“Ibnu Taimiyyah menyusun kitab-kitabnya berdasar merujuk Salafus sholeh”
Sehingga orang awan yang mengikuti mereka beranggapan apapun yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah adalah pasti benar karena merujuk kepada Salafush Sholeh.
Apalagi ditambah kalimat hipnotis lainnya seperti yang dapat kita ketahui dari situs mereka pada http://almanhaj.or.id/content/1474/slash/0/antara-ahlus-sunnah-dan-salafiyah/ di mana mereka mengutip perkataan atau fatwa dari ulama panutan mereka yakni Ibnu Taimiyyah, “Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa 4/149]
Padahal Ibnu Taimiyyah menyusun kitab-kitabnya bukan merujuk atau mengikuti Salafush Sholeh karena beliau tentunya tidak lagi bertemu dengan Salafush Sholeh
Ibnu Taimiyyah menyusun kitab-kitabnya merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits namun permasalahannya apakah hasil ijtihad dan istinbat Ibnu Taimiyyah pasti benar?
Apakah dengan pengakuan atau penisbatan kepada Salafush Sholeh dapat menjamin hasil ijtihad dan istinbat Ibnu Taimiyyah pasti benar?
Oleh karena orang awam yang terperosok mengikuti pola pemahaman IbnuTaimiyyah merasa pasti benar dan selain mereka pasti salah sehingga timbullah perselisihan dan kebencian terhadap muslim lainnya.
Bahkan adz-Dzahabi salah seorang murid Ibnu Taimiyyah memberikan nasehat kepada beliau atas sikap atau akhlaknya yang timbul karena merasa pasti benar sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/25/nasehat-seorang-murid/
Memang kesalahpahaman dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah dapat menimbulkan perselisihan dan bahkan kebencian sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/19/menimbulkan-kebencian/
Contoh perselisihan dan bahkan kebencian karena masing-masing merasa pasti benar adalah apa yang mereka pertontonkan pada http://tukpencarialhaq.com/2013/07/14/ parodi-rodja-bag-10-beking-dakwah-halabiyun-firanda-adalah-pendusta-besar/atau pada http://tukpencarialhaq.com/2013/08/06/parodi-rodja-13-menjawab-tantangan-dokter-dan-guru-besar-beladiri/
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga telah memperingatkan kita bahwa perselisihan timbul dari ulama bangsa Arab sendiri. Maksudnya perselisihan timbul dari orang-orang yang berkemampuan bahasa Arab yang berupaya mengambil hukum-hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah dari sudut arti bahasa saja.
Saya (Khudzaifah Ibnul Yaman) bertanya ‘Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!
Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita.
Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!
Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?
Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok/ sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (HR Bukhari)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36:“Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang pada akhir zaman, orang-orang muda dan berpikiran sempit. Mereka senantiasa berkata baik. Mereka keluar dari agama Islam, sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Mereka mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Quran, padahal mereka sama sekali tidak mengamalkannya. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka berasal dari bangsa kita (Arab). Mereka berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab). Kalian akan merasa shalat kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan puasa mereka.”
Pada umumnya orang-orang yang mendalami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak, memahaminya dari sudut arti bahasa dan istilah saja atau dikatakan mereka bermazhab dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir atau makna dzahir sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/24/arti-bahasa-saja
Contohnya kepada orang Arab yang berprofesi sebagai pedagang yang tentunya paham bahasa Arab karena mengerti bahasa Arab atau dapat memahami berdasarkan arti bahasa, lalu kita serahkan kitab Al Qur’an dan kitab Hadits lengkap berikut penilaian ke-shahih-annya dari para ahli hadits.
Tentunya pedagang Arab tersebut tidak akan berani berpendapat, berfatwa atau menyampaikan seputar aqidah (i’tiqod) berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dengan kemampuan memahami berdasarkan arti bahasa saja.
Diperlukan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain. Kalau tidak menguasai ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maka akan sesat dan menyesatkan.
Ada di antara mereka menyanggah apa yang telah disampaikan di atas bahwa mereka tidak melakukan ijtihad maupun istinbat. Mereka mengaku sekedar menyampaikan perkataan dari kitabullah dan petunjuk dari Rasulullah maupun pendapat Salafush Sholeh.
Hal yang perlu diketahui bahwa seseorang ketika menyatakan pendapat dengan berdalilkan Kitabullah, sabda Rasulullah atau perkataan para ulama terdahulu maka hal itu termasuk berijtihad
Ketika seseorang menyampaikan dan menjelaskan Kitabullah, sabda Rasulullah maupun perkataan para ulama terdahulu maka hal itu termasuk berijtihad.
Ketika seseorang menetapkan sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan atau sesuatu jika ditinggalkan berdosa atau sesuatu jika dikerjakan berdosa berdasarkan Kitabullah, sabda Rasulullah dan didukung dengan perkataan para ulama terdahulu maka hal itu termasuk beristinbat atau menggali hukum.
Fatwa adalah berijtihad dan beristinbat. Jika seseorang berfatwa tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm~rahimahullah mengatakan
***** awal kutipan *****
“rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab“ijtihad” adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat / makna dzahir) dari berita-berita yang ada. Demikianpula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanananya.
Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum dari makna yang tersirat dibalik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah (makna dzahir) dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung didalamnya.
Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi tadi menjawab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakakan”
***** akhir kutipan *****
Contohnya seseorang berkata bahwa "semua bid'ah adalah sesat" berdasarkan hadits "kullu bid'ah dholalah" maka orang tersebut telah berijtihad terhadap hadits tersebut.
Jika dia salah dalam berijtihad terhadap hadits maka dia termasuk telah memfitnah Rasulullah shallahu alaihi wasallam dan sama hukumnya dengan orang yang berdusta atas nama Rasulullah sehingga bersiaplah menempati tempat duduknya di neraka.
Para ahli tata bahasa Arab atau para ahli nahwu dan sharaf mengatakan bahwa “kullu” dalam bahasa Indonesia artinya “setiap” sedangkan kata setiap tidak selalu berarti semua. Kullu dapat sebagai kullu ba’din maksudnya ”setiap dari sebagian” dan dapat pula sebagai kullu jam’in maksudnya “setiap dari semua”
Imam An Nawawi ~rahimahullah mengatakan, “Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Begitupula ketika seseorang mengatakan bahwa "Tuhan bertempat di atas ‘Arsy” berdasarkan(QS Thaahaa [20]:5) maka dia telah berijtihad terhadap firmanNya.
Jika dia salah dalam berijtihad terhadap firmanNya maka dia termasuk telah memfitnah Allah Azza wa Jalla dan sama hukumnya dengan orang yang " menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan." (QS Luqman [31]:6)
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah ketika ditanya terkait firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia tidak diliputi oleh tempat (ruang), tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”
Tentang istawa Imam Abu Hanifah mengatakan “Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada ‘‘arsy tersebut dan tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara ‘‘arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).
Imam ath Thahawi dalam kitabnya Aqiidah ath Thaahawiyah berkata
“Barangsiapa yang enggan (tidak mau) menafikan sifat makhluk kepada Allah atau menyamakan-Nya dengan sifat makhluk, maka ia telah sesat dan tidak melakukan tanzih (mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk). Karena sesungguhnya Tuhan kami yang Maha Agung dan Maha Mulia itu disifati dengan sifat-sifat wahdaniyyah (tunggal) dan fardaniyyah (kesendirian). Hal ini artinya, tidak ada satupun makhluk yang menyamaiNya. Maha Suci Allah dari segala macam batasan, tujuan, pilar, anggota dan aneka benda. Allah ta’ala tidak butuh enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk ( Abu Ja’far Ahmad bin Salamah Ath Thahawi , Aqidah Ath Thahaawiyyah halaman 26)
Begitupula ketika seseorang berpendapat dengan mengutip perkataan ulama terdahulu maka dia telah berijtihad terhadap perkataan ulama tersebut. Jika dia salah dalam berijtihad maka dia telah memfitnah ulama tersebut dan pendapatnya tertolak karena dia termasuk orang yang merubah perkataan ulama terdahulu
Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan bahwa sebaiknya janganlah mengambil ilmu agama dari dari orang-orang yang tidak jelas sanad ilmu (sanad guru) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ulama meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Contoh fitnah terhadap Imam Syafi'i dan Imam Baihaqi adalah orang-orang yang tidak mengerti tentang tasawuf sering sekali mengutip perkataan Imam Syafi'i yang dikutip dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi yakni ungkapan “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.”
Imam Al Baihaqi ketika menjelaskan perkataan Imam Syafi’i , “Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tashawuf di awal siang, maka tidak tidak sampai kepadanya dhuhur kecuali ia menjadi kekurangan akal (dungu).” mengatakan bahwa “sesungguhnya yang dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan kesusahannya kepada kaum Muslim, ia tidak perduli terhadap mereka serta tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208)
Imam Al Baihaqi juga menjelaskan maksud perkataan Imam Syafi’ , ”Seorang sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada dirinya 4 perkara, malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.” mengatakan bahwa ”Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).
Jelas, bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena perilaku mereka yang mengatas namakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’I memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalangan sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164)
Walhasil, Imam As Syafi’I disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini.
Begitupula adanya upaya pemalsuan kitab diwan al-Imam asy-Syafi’i sebagaimana yang telah dijelaskan contohnya pada http://www.sarkub.com/2011/pemalsuan-kitab-diwan-imam-asy-syafii/
Mereka menghilangkan beberapa bait syair Imam Syafi’I yang sangat vital terkait tasawuf yakni
Jadilah ahli fikih dan sufi sekaligus, jangan hanya salah satunya. Sungguh demi Allah, saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang ini (yang hanya mempelajari ilmu fikih tapi tidak mau menjalani tasawuf), maka hatinya keras dan tidak dapat merasakan lezatnya taqwa. Sebaliknya, orang yang itu (yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari fikih), maka ia akan bodoh, sehingga bagaimana bisa dia menjadi baik (muslim yang ihsan)
Begitupula Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang rusak (berakhlak tidak baik).
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “Pokok-pokok metode ajaran tasawuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Kembali kepada perihal ijtihad dan istinbat, para Imam Mujtahid dalam beristinbat menghindari metodologi istinbat (menetapkan hukum perkara) seperti al-Maslahah al-Mursalah atau Al-Istislah atau istihsan yakni “Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata yang oleh syara’ (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang”
Metode istinbat, al maslahah-mursalah atau istislah atau istihsan pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik ra (W. 97 H.), pendiri mazhab Malik namun pada akhirnya beliau meninggalkannya. Sejak setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahahmursalah kepada Imam Malik ra.
Menurut Imam Syafi’i, al-Istihsan itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakan al-Istihsan sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Ibnu Hazm termasuk salah seorang uluma yang menolak al-Istihsan. Beliau menganggap bahwa al-Istihsan itu menganggap baik terhadap sesuatu menurut hawa nafsunya, dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Pada hakikatnya segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh).
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram. Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh)
Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah [2]:29)
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13)
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman [31]:20)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya.
Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.
Begitupula kita tidak dapat melarang suatu perbuatan dengan perkataan manusia seperti “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” (kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Sahabat telah mendahului kita mengamalkannya) karena perkataan tersebut bukan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bukan pula sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Perkara yang ditinggalkan bagi kaum muslim adalah perkara haram , perkara makruh dan perkara syubhat (perkara yang meragukan). Sedangkan perkara yang dikerjakan adalah perkara wajib, sunnah (mandub) dan boleh (mubah)
Semua kewajiban dan larangan bersumber dari Allah Azza wa Jalla dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukan hasil akal pikiran manusia.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Jadi inti dari agama adalah perintahNya dan laranganNya
Apa pun yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah perintahNya dan begitupula apa pun yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah laranganNya
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Dari Miqdam bin Ma’dikariba Ra. ia berkata: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; “Hampir tiba suatu zaman di mana seorang lelaki yang sedang duduk bersandar di atas kursi kemegahannya, lalu disampaikan orang kepadanya sebuah hadits dari haditsku maka ia berkata: “Pegangan kami dan kamu hanyalah kitabullah (Al-Qur’an) saja. Apa yang dihalalkan oleh Al-Qur’an kami halalkan. Dan apa yang ia haramkan kami haramkan”. (Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan sabdanya): “Padahal apa yang diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam samalah hukumnya dengan apa yang diharamkan Allah Subhanhu wa Ta’ala”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ada beberapa perkara yakni PerintahNya dan LaranganNya serta selebihnya adalah perkara mubah (boleh).
Segala perkara terkait dengan dosa adalah merupakan hak Allah Azza wa Jalla untuk menetapkannya atau mensyariatkannya bagi manusia agar terhindar dari dosa atau terhindar dari siksaan api neraka.
Perkara yang terkait dengan dosa adalah
1. Segala perkara yang jika ditinggalkan berdosa (kewajiban)
2. Segala perkara yang jika dilanggar atau dikerjakan berdosa (larangan dan segala apa yang telah diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla)
PerintahNya meliputi perkara wajib yakni perkara yang jika ditinggalkan berdosa dan perkara sunnah (mandub) yakni perkara yang jika dikerjakan berpahala dan jika dtinggalkan tidak berdosa atau tidak apa apa
LaranganNya meliputi perkara haram yakni perkara yang jika dikerjakan atau dilanggar berdosa dan perkara makruh yakni perkara yang jika dikerjakan atau dilanggar tidak berdosa atau dibenciNya dan jika ditinggalkan berpahala.
Selebihnya adalah perkara mubah (boleh) yakni perkara yang tidak diperintahkanNya maupun tidak dilarangNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa risalah atau agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa) dan selebihnya adalah apa yang telah dibolehkanNya. Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu(dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan olehan-Nawawi)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islamitu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah aram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmuitu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Kesimpulannya, yang dimaksud dengan “telah sempurna agama Islam” adalah telah sempurna atau telah tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang dibolehkanNya atau selebihnya hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam[19]:64)
Jelaslah kewajiban dan larangan adalah perkara syariat atau urusan agama sehingga orang yang menyatakan kewajiban atau larangan tanpa dasar dari Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk orang yang membuat perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat atau perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama yakni mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya, melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat atau perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama yakni mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya, melarang yang sebenarnya tidak dilarang Nya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya adalah tertolak atau terlarang
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahimbin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka perkara itu tertolak.” (HR Bukhari 2499)
Imam Malik berkata: “Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama”
Berikut contoh riwayat yang menjelaskan perkataan Imam Malik di atas
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram?”
Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”.
Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”
Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.
Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”
Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.
Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”
Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”
Begitupula kita tidak boleh sholat subuh tiga rakaat walaupun menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).
Sedangkan Azan dalam sholat ied tidak boleh walaupun menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul fiqih
اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ
“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”
Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.
Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.
Jadi terlarang mengangap baik sesuatu menurut akal pikiran sendiri sehingga mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya sebaliknya terlarang menganggap buruk sesuatu menurut akal pikiran sendiri sehingga melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya.
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya
Firman Allah ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah
Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Jadi jelaslah pelaku bid’ah dalam urusan agama adalah orang-orang yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya akan masuk neraka karena mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Sedangkan perkara baru (bid'ah) atau segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak menyalahi satupun laranganNya maka hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Para ulama yang sholeh terdahulu mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah sebagaimana contoh pembahasan pada http://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairu-mhadhah/
Landasan klasifikasi adalah
Ibadah mahdhah = KA + SS , Karena Allah + Sesuai Syariat
Ibadah ghairu mahdhah = BB + KA , Berbuat Baik + Karena Allah
Prinsip-prinsip ibadah mahdhah
1. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya
2. Tatacaranya harus berpola kepada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah adalah terlarang. Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya)
3. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
4. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.
Prinsip-prinsip ibadah ghairu mahdhah
1. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.
2. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan. Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
3. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
4. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Ibadah ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat.
Ada sebuah kaidah yang berbunyi,
Laa tusyro’u ‘ibadatun illaa bi syar’illah, wa laa tuharramu ‘adatun illaa bitahriimillah…
“Tidak boleh dilakukan suatu ibadah (mahdhah) kecuali yang disyariatkan oleh Allah; dan tidak dilarang suatu muamalah atau kebiasaan atau adat (ibadah ghairu mahdah) kecuali yang diharamkan oleh Allah.”
Jadi sesuatu perkara yang tidak dilakukan, dicontohkan atau disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam belum tentu bid’ah dholalah selama perkara tersebut termasuk ibadah ghairu mahdhah yang meliputi muamalah, kebiasaan atau adat dan tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallamm bersabda, “Setiap ruas tulang manusia harus disedekahi setiap hari selama matahari masih terbit. Engkau mendamaikan dua orang (yang berselisih) adalah sedekah,menolong seseorang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkatkan barangnya ke atas kendaraan adalah sedekah,kata-kata yang baik adalah sedekah,setiap langkah kaki yang kau ayunkan untuk shalat adalah sedekah,dan engkau menyingkirkan aral dari jalan adalah juga sedekah. “(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Abi Dzar r.a. berkata: Sekelompok sahabat berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.”Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Bukankah Allah telah menjadikan untukmu sesuatu yang dapat disedekahkan? (Yakni) bahwa setiap kali tasbih (bacaan subhnallah) adalah sedekah, setiap kali tahmid (bacaan alhamdulillah) adalah sedekah,setiap kali tahlil (bacaan la ilaha ilallah) adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan jimaknya salah seorang diantara kalian juga adalah sedekah.”Mereka bertanya,”Wahai Rasulullah,apakah jika salah seorang dari kami memenuhi hajat syahwatnya berpahala? “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Menurutmu ,bukanlah jika ia menyalurkan syahwatnya pada yang haram berdosa? Maka demikian pula apabila ia menyalurkannya pada yang halal, ia mendapatkan pahala.” (Diriwayatkan pada yang halal,ia mendapatkan pahala.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa'alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf
Firman Allah ta'ala yang artinya
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah.
Perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.
Berikut pendapat Imam Syafi’i ra
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ .
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Contoh perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi muamalah, kebiasaan atau adat adalah
1. Kebiasaan memberikan sedakah kepada anak yatim setiap hari Jum’at sebelum sholat Jum’at bukanlah perkara terlarang karena tidak menyalahi satupun laranganNya
2. Kebiasaan membaca surah al Ikhlas setiap rakaat kedua
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb telah menceritakan kepada kami Amru dari Ibnu Abu Hilal bahwa Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman menceritakan kepadanya dari Ibunya Amrah binti Abdurrahman yang dahulu dalam asuhan Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus seorang laki-laki dalam sebuah eskpedisi militer, lantas laki-laki tersebut membaca untuk sahabatnya dalam shalatnya dengan QULHUWALLAHU AHAD (Surat al Ikhlash) dan menutupnya juga dengan surat itu. Dikala mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tolong tanyailah dia, mengapa dia berbuat sedemikian? ‘ Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, ‘Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya. (HR Bukhari 6827)
Diriwayatkan ketika Imam Masjid Quba setiap kali sholat ia selalu membaca surat Al Ikhlas, setiap sholat ia selalu membaca surat Al Fatihah, Al Ikhlas, baru surat lainnya. Ada orang yang mengadukannya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu? Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” , Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
3. Kebiasaan menjaga wudhu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada Bilal ketika shalat Shubuh: “Hai Bilal, katakanlah Kepadaku apakah amalanmu yang paling besar pahalanya yang pernah kamu kerjakan dalam Islam, karena tadi malam aku mendengar derap sandalmu di dalam surga? ‘ Bilal menjawab; ‘Ya Rasulullah, sungguh saya tidak mengerjakan amal perbuatan yang paling besar pahalanya dalam Islam selain saya bersuci dengan sempurna, baik itu pada waktu malam ataupun siang hari. lalu dengannya saya mengerjakan shalat selain shalat yang telah diwajibkan Allah kepada saya.” (HR Muslim 4497)
4. Kebiasaan Imam Syafi’i bersholawat dengan sholawat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Al- Mazani bertutur sebagai berikut: Saya bermimpi melihat Imam Al-Syafi’i. Lalu saya bertanya pada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah terhadap diri Anda?”
Beliau menjawab, Allah telah mengampuni diriku berkat shalawat yang aku cantumkan di dalam kitab Al-Risalah, yaitu: Allahumma shalli ‘ala Muhammadin kullama dzakaraka al-Dzakiruna wa Shalli ‘ala Muhammadin kullama ghafala ‘an dzikrik al-Ghafiluna.”
Jadi boleh kita membuat sholawat sebagaimana kita ingin mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selama matan atau redaksi sholawat tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
5. Kebiasaan memperingati Maulid Nabi adalah kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula memperingati hari kelahiran diri sendiri dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di akhirat kelak adalah bukan perkara dosa atau terlarang.
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)
Kemungkinan terjadi kesalahan adalah cara kita mengisi peringatan Maulid Nabi atau cara kita mengisi peringatan hari kelahiran itu sendiri seperti janganlah berlebih-lebihan atau bermewah-mewahan.
Sedangkan peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Berikut penjelasan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat tentang Maulid Nabi
Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi): “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam“.
Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah, dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi shallallahu alaihi wasallam”
Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah, dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.
Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai hari besar”.
6. Kebiasaan membaca surat Yasin setiap malam Jum’at.
Bagi mereka yang berpegang hanya pada hadits yang telah terbukukan saja, menganggap kebiasaan ini tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebiasaan Rasulullah yang terbukukan adalah membaca surat Al Kahfi setiap malam Jum’at.
Sedangkan perlu kita ingat bahwa jumlah hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits)
Oleh karenanya kita dapat menanyakan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena mereka mendapatkan pengajaran agama dalam bentuk lisan maupun praktek yang didapatkan dari orang tua mereka secara turun temurun tersambung kepada apa yang disampaikan dan dipraktekan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Wasallam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
link dokumen :\
https://www.facebook.com/groups/kasarung/doc/647982788559796/
Dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/09/19/waspada-manhaj-shahafi/ telah disampaikan bahwa pengakuan yang sering mereka lontarkan yang dapat membuat orang awam terperosok mengikuti mereka adalah bahwa mereka beragama mengikuti pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf)
Permasalahannya adalah bagaimana mereka mengetahui pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf) sedangkan mereka tentu tidak lagi bertemu dengan para Sahabat.
Apakah ketika mereka membaca hadits maka dapat dikatakan mereka telah mengetahui pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf) ?
Mereka berijtihad dan beristinbat dengan pendapat mereka terhadap hadits tersebut. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf). Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad dan istinbat mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Apapun hasil ijtihad dan istinbat mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat. Jika ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap para Sahabat. Jika telah memfitnah para Sahabat maka bersiap-siaplah akan menempati tempat duduknya di neraka
Jadi pada kenyataannya “ajakan” untuk mengikuti pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf) adalah ajakan untuk “kembali kepada pada Al Qur’an dan As Sunnah” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri.
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/09/18/dari-lisan-ke-lisan/ bahwa belajar dari buku dengan bahasa tulisan mempunyai keterbatasan dibandingkan dengan bertalaqqi , bertemu atau mengaji dengan guru.
Pada hakikatnya ruh ilmuNya mengalir diantara lisan ke lisan para ulama yang sholeh secara turun temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat.
Begitu juga mendengarkan kaset atau melihat dan mendengarkan siaran televisi atau rekaman video juga tidak termasuk bertalaqqi karena tidak terjadi interaksi sehingga sama dengan berguru dengan buku
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Salah satu ulama yang memelopori mendalami ilmu agama bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri adalah Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang dapat kita ketahui dari biografinya seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Hal serupa diikuti pula oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang menjadikan Ibnu Taimiyyah sebagai ulama panutannya sebagaimana informasi dari kalangan mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam seperti pada http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Pada kenyataannya pula Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih, sebagaimana informasi dari http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
****** awal kutipan ******
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat(salinan)Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan, seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu `Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu.
****** akhir kutipan ******
Orang awam yang terperosok mengikuti mereka dikarenakan terhipnotis pada perkataan-perkataan seperti
“Ibnu Taimiyyah menyusun kitab-kitabnya berdasar merujuk Salafus sholeh”
Sehingga orang awan yang mengikuti mereka beranggapan apapun yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah adalah pasti benar karena merujuk kepada Salafush Sholeh.
Apalagi ditambah kalimat hipnotis lainnya seperti yang dapat kita ketahui dari situs mereka pada http://almanhaj.or.id/content/1474/slash/0/antara-ahlus-sunnah-dan-salafiyah/ di mana mereka mengutip perkataan atau fatwa dari ulama panutan mereka yakni Ibnu Taimiyyah, “Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa 4/149]
Padahal Ibnu Taimiyyah menyusun kitab-kitabnya bukan merujuk atau mengikuti Salafush Sholeh karena beliau tentunya tidak lagi bertemu dengan Salafush Sholeh
Ibnu Taimiyyah menyusun kitab-kitabnya merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits namun permasalahannya apakah hasil ijtihad dan istinbat Ibnu Taimiyyah pasti benar?
Apakah dengan pengakuan atau penisbatan kepada Salafush Sholeh dapat menjamin hasil ijtihad dan istinbat Ibnu Taimiyyah pasti benar?
Oleh karena orang awam yang terperosok mengikuti pola pemahaman IbnuTaimiyyah merasa pasti benar dan selain mereka pasti salah sehingga timbullah perselisihan dan kebencian terhadap muslim lainnya.
Bahkan adz-Dzahabi salah seorang murid Ibnu Taimiyyah memberikan nasehat kepada beliau atas sikap atau akhlaknya yang timbul karena merasa pasti benar sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/25/nasehat-seorang-murid/
Memang kesalahpahaman dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah dapat menimbulkan perselisihan dan bahkan kebencian sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/19/menimbulkan-kebencian/
Contoh perselisihan dan bahkan kebencian karena masing-masing merasa pasti benar adalah apa yang mereka pertontonkan pada http://tukpencarialhaq.com/2013/07/14/
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga telah memperingatkan kita bahwa perselisihan timbul dari ulama bangsa Arab sendiri. Maksudnya perselisihan timbul dari orang-orang yang berkemampuan bahasa Arab yang berupaya mengambil hukum-hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah dari sudut arti bahasa saja.
Saya (Khudzaifah Ibnul Yaman) bertanya ‘Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!
Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita.
Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!
Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?
Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok/ sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (HR Bukhari)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36:“Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang pada akhir zaman, orang-orang muda dan berpikiran sempit. Mereka senantiasa berkata baik. Mereka keluar dari agama Islam, sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Mereka mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Quran, padahal mereka sama sekali tidak mengamalkannya. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka berasal dari bangsa kita (Arab). Mereka berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab). Kalian akan merasa shalat kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan puasa mereka.”
Pada umumnya orang-orang yang mendalami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak, memahaminya dari sudut arti bahasa dan istilah saja atau dikatakan mereka bermazhab dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir atau makna dzahir sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/24/arti-bahasa-saja
Contohnya kepada orang Arab yang berprofesi sebagai pedagang yang tentunya paham bahasa Arab karena mengerti bahasa Arab atau dapat memahami berdasarkan arti bahasa, lalu kita serahkan kitab Al Qur’an dan kitab Hadits lengkap berikut penilaian ke-shahih-annya dari para ahli hadits.
Tentunya pedagang Arab tersebut tidak akan berani berpendapat, berfatwa atau menyampaikan seputar aqidah (i’tiqod) berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dengan kemampuan memahami berdasarkan arti bahasa saja.
Diperlukan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain. Kalau tidak menguasai ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maka akan sesat dan menyesatkan.
Ada di antara mereka menyanggah apa yang telah disampaikan di atas bahwa mereka tidak melakukan ijtihad maupun istinbat. Mereka mengaku sekedar menyampaikan perkataan dari kitabullah dan petunjuk dari Rasulullah maupun pendapat Salafush Sholeh.
Hal yang perlu diketahui bahwa seseorang ketika menyatakan pendapat dengan berdalilkan Kitabullah, sabda Rasulullah atau perkataan para ulama terdahulu maka hal itu termasuk berijtihad
Ketika seseorang menyampaikan dan menjelaskan Kitabullah, sabda Rasulullah maupun perkataan para ulama terdahulu maka hal itu termasuk berijtihad.
Ketika seseorang menetapkan sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan atau sesuatu jika ditinggalkan berdosa atau sesuatu jika dikerjakan berdosa berdasarkan Kitabullah, sabda Rasulullah dan didukung dengan perkataan para ulama terdahulu maka hal itu termasuk beristinbat atau menggali hukum.
Fatwa adalah berijtihad dan beristinbat. Jika seseorang berfatwa tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm~rahimahullah mengatakan
***** awal kutipan *****
“rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab“ijtihad” adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat / makna dzahir) dari berita-berita yang ada. Demikianpula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanananya.
Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum dari makna yang tersirat dibalik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah (makna dzahir) dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung didalamnya.
Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi tadi menjawab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakakan”
***** akhir kutipan *****
Contohnya seseorang berkata bahwa "semua bid'ah adalah sesat" berdasarkan hadits "kullu bid'ah dholalah" maka orang tersebut telah berijtihad terhadap hadits tersebut.
Jika dia salah dalam berijtihad terhadap hadits maka dia termasuk telah memfitnah Rasulullah shallahu alaihi wasallam dan sama hukumnya dengan orang yang berdusta atas nama Rasulullah sehingga bersiaplah menempati tempat duduknya di neraka.
Para ahli tata bahasa Arab atau para ahli nahwu dan sharaf mengatakan bahwa “kullu” dalam bahasa Indonesia artinya “setiap” sedangkan kata setiap tidak selalu berarti semua. Kullu dapat sebagai kullu ba’din maksudnya ”setiap dari sebagian” dan dapat pula sebagai kullu jam’in maksudnya “setiap dari semua”
Imam An Nawawi ~rahimahullah mengatakan, “Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Begitupula ketika seseorang mengatakan bahwa "Tuhan bertempat di atas ‘Arsy” berdasarkan(QS Thaahaa [20]:5) maka dia telah berijtihad terhadap firmanNya.
Jika dia salah dalam berijtihad terhadap firmanNya maka dia termasuk telah memfitnah Allah Azza wa Jalla dan sama hukumnya dengan orang yang " menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan." (QS Luqman [31]:6)
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah ketika ditanya terkait firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia tidak diliputi oleh tempat (ruang), tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”
Tentang istawa Imam Abu Hanifah mengatakan “Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada ‘‘arsy tersebut dan tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara ‘‘arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).
Imam ath Thahawi dalam kitabnya Aqiidah ath Thaahawiyah berkata
“Barangsiapa yang enggan (tidak mau) menafikan sifat makhluk kepada Allah atau menyamakan-Nya dengan sifat makhluk, maka ia telah sesat dan tidak melakukan tanzih (mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk). Karena sesungguhnya Tuhan kami yang Maha Agung dan Maha Mulia itu disifati dengan sifat-sifat wahdaniyyah (tunggal) dan fardaniyyah (kesendirian). Hal ini artinya, tidak ada satupun makhluk yang menyamaiNya. Maha Suci Allah dari segala macam batasan, tujuan, pilar, anggota dan aneka benda. Allah ta’ala tidak butuh enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk ( Abu Ja’far Ahmad bin Salamah Ath Thahawi , Aqidah Ath Thahaawiyyah halaman 26)
Begitupula ketika seseorang berpendapat dengan mengutip perkataan ulama terdahulu maka dia telah berijtihad terhadap perkataan ulama tersebut. Jika dia salah dalam berijtihad maka dia telah memfitnah ulama tersebut dan pendapatnya tertolak karena dia termasuk orang yang merubah perkataan ulama terdahulu
Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan bahwa sebaiknya janganlah mengambil ilmu agama dari dari orang-orang yang tidak jelas sanad ilmu (sanad guru) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ulama meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Contoh fitnah terhadap Imam Syafi'i dan Imam Baihaqi adalah orang-orang yang tidak mengerti tentang tasawuf sering sekali mengutip perkataan Imam Syafi'i yang dikutip dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi yakni ungkapan “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.”
Imam Al Baihaqi ketika menjelaskan perkataan Imam Syafi’i , “Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tashawuf di awal siang, maka tidak tidak sampai kepadanya dhuhur kecuali ia menjadi kekurangan akal (dungu).” mengatakan bahwa “sesungguhnya yang dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan kesusahannya kepada kaum Muslim, ia tidak perduli terhadap mereka serta tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208)
Imam Al Baihaqi juga menjelaskan maksud perkataan Imam Syafi’ , ”Seorang sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada dirinya 4 perkara, malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.” mengatakan bahwa ”Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).
Jelas, bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena perilaku mereka yang mengatas namakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’I memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalangan sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164)
Walhasil, Imam As Syafi’I disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini.
Begitupula adanya upaya pemalsuan kitab diwan al-Imam asy-Syafi’i sebagaimana yang telah dijelaskan contohnya pada http://www.sarkub.com/2011/pemalsuan-kitab-diwan-imam-asy-syafii/
Mereka menghilangkan beberapa bait syair Imam Syafi’I yang sangat vital terkait tasawuf yakni
Jadilah ahli fikih dan sufi sekaligus, jangan hanya salah satunya. Sungguh demi Allah, saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang ini (yang hanya mempelajari ilmu fikih tapi tidak mau menjalani tasawuf), maka hatinya keras dan tidak dapat merasakan lezatnya taqwa. Sebaliknya, orang yang itu (yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari fikih), maka ia akan bodoh, sehingga bagaimana bisa dia menjadi baik (muslim yang ihsan)
Begitupula Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang rusak (berakhlak tidak baik).
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “Pokok-pokok metode ajaran tasawuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Kembali kepada perihal ijtihad dan istinbat, para Imam Mujtahid dalam beristinbat menghindari metodologi istinbat (menetapkan hukum perkara) seperti al-Maslahah al-Mursalah atau Al-Istislah atau istihsan yakni “Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata yang oleh syara’ (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang”
Metode istinbat, al maslahah-mursalah atau istislah atau istihsan pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik ra (W. 97 H.), pendiri mazhab Malik namun pada akhirnya beliau meninggalkannya. Sejak setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahahmursalah kepada Imam Malik ra.
Menurut Imam Syafi’i, al-Istihsan itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakan al-Istihsan sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Ibnu Hazm termasuk salah seorang uluma yang menolak al-Istihsan. Beliau menganggap bahwa al-Istihsan itu menganggap baik terhadap sesuatu menurut hawa nafsunya, dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Pada hakikatnya segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh).
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram. Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh)
Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah [2]:29)
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13)
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman [31]:20)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya.
Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.
Begitupula kita tidak dapat melarang suatu perbuatan dengan perkataan manusia seperti “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” (kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Sahabat telah mendahului kita mengamalkannya) karena perkataan tersebut bukan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bukan pula sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Perkara yang ditinggalkan bagi kaum muslim adalah perkara haram , perkara makruh dan perkara syubhat (perkara yang meragukan). Sedangkan perkara yang dikerjakan adalah perkara wajib, sunnah (mandub) dan boleh (mubah)
Semua kewajiban dan larangan bersumber dari Allah Azza wa Jalla dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukan hasil akal pikiran manusia.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Jadi inti dari agama adalah perintahNya dan laranganNya
Apa pun yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah perintahNya dan begitupula apa pun yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah laranganNya
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Dari Miqdam bin Ma’dikariba Ra. ia berkata: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; “Hampir tiba suatu zaman di mana seorang lelaki yang sedang duduk bersandar di atas kursi kemegahannya, lalu disampaikan orang kepadanya sebuah hadits dari haditsku maka ia berkata: “Pegangan kami dan kamu hanyalah kitabullah (Al-Qur’an) saja. Apa yang dihalalkan oleh Al-Qur’an kami halalkan. Dan apa yang ia haramkan kami haramkan”. (Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan sabdanya): “Padahal apa yang diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam samalah hukumnya dengan apa yang diharamkan Allah Subhanhu wa Ta’ala”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ada beberapa perkara yakni PerintahNya dan LaranganNya serta selebihnya adalah perkara mubah (boleh).
Segala perkara terkait dengan dosa adalah merupakan hak Allah Azza wa Jalla untuk menetapkannya atau mensyariatkannya bagi manusia agar terhindar dari dosa atau terhindar dari siksaan api neraka.
Perkara yang terkait dengan dosa adalah
1. Segala perkara yang jika ditinggalkan berdosa (kewajiban)
2. Segala perkara yang jika dilanggar atau dikerjakan berdosa (larangan dan segala apa yang telah diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla)
PerintahNya meliputi perkara wajib yakni perkara yang jika ditinggalkan berdosa dan perkara sunnah (mandub) yakni perkara yang jika dikerjakan berpahala dan jika dtinggalkan tidak berdosa atau tidak apa apa
LaranganNya meliputi perkara haram yakni perkara yang jika dikerjakan atau dilanggar berdosa dan perkara makruh yakni perkara yang jika dikerjakan atau dilanggar tidak berdosa atau dibenciNya dan jika ditinggalkan berpahala.
Selebihnya adalah perkara mubah (boleh) yakni perkara yang tidak diperintahkanNya maupun tidak dilarangNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa risalah atau agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa) dan selebihnya adalah apa yang telah dibolehkanNya. Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu(dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan olehan-Nawawi)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islamitu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah aram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmuitu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Kesimpulannya, yang dimaksud dengan “telah sempurna agama Islam” adalah telah sempurna atau telah tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang dibolehkanNya atau selebihnya hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam[19]:64)
Jelaslah kewajiban dan larangan adalah perkara syariat atau urusan agama sehingga orang yang menyatakan kewajiban atau larangan tanpa dasar dari Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk orang yang membuat perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat atau perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama yakni mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya, melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat atau perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama yakni mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya, melarang yang sebenarnya tidak dilarang Nya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya adalah tertolak atau terlarang
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahimbin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka perkara itu tertolak.” (HR Bukhari 2499)
Imam Malik berkata: “Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama”
Berikut contoh riwayat yang menjelaskan perkataan Imam Malik di atas
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram?”
Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”.
Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”
Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.
Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”
Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.
Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”
Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”
Begitupula kita tidak boleh sholat subuh tiga rakaat walaupun menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).
Sedangkan Azan dalam sholat ied tidak boleh walaupun menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul fiqih
اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ
“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”
Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.
Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.
Jadi terlarang mengangap baik sesuatu menurut akal pikiran sendiri sehingga mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya sebaliknya terlarang menganggap buruk sesuatu menurut akal pikiran sendiri sehingga melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya.
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya
Firman Allah ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah
Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Jadi jelaslah pelaku bid’ah dalam urusan agama adalah orang-orang yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya akan masuk neraka karena mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Sedangkan perkara baru (bid'ah) atau segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak menyalahi satupun laranganNya maka hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Para ulama yang sholeh terdahulu mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah sebagaimana contoh pembahasan pada http://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairu-mhadhah/
Landasan klasifikasi adalah
Ibadah mahdhah = KA + SS , Karena Allah + Sesuai Syariat
Ibadah ghairu mahdhah = BB + KA , Berbuat Baik + Karena Allah
Prinsip-prinsip ibadah mahdhah
1. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya
2. Tatacaranya harus berpola kepada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah adalah terlarang. Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya)
3. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
4. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.
Prinsip-prinsip ibadah ghairu mahdhah
1. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.
2. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan. Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
3. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
4. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Ibadah ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat.
Ada sebuah kaidah yang berbunyi,
Laa tusyro’u ‘ibadatun illaa bi syar’illah, wa laa tuharramu ‘adatun illaa bitahriimillah…
“Tidak boleh dilakukan suatu ibadah (mahdhah) kecuali yang disyariatkan oleh Allah; dan tidak dilarang suatu muamalah atau kebiasaan atau adat (ibadah ghairu mahdah) kecuali yang diharamkan oleh Allah.”
Jadi sesuatu perkara yang tidak dilakukan, dicontohkan atau disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam belum tentu bid’ah dholalah selama perkara tersebut termasuk ibadah ghairu mahdhah yang meliputi muamalah, kebiasaan atau adat dan tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallamm bersabda, “Setiap ruas tulang manusia harus disedekahi setiap hari selama matahari masih terbit. Engkau mendamaikan dua orang (yang berselisih) adalah sedekah,menolong seseorang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkatkan barangnya ke atas kendaraan adalah sedekah,kata-kata yang baik adalah sedekah,setiap langkah kaki yang kau ayunkan untuk shalat adalah sedekah,dan engkau menyingkirkan aral dari jalan adalah juga sedekah. “(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Abi Dzar r.a. berkata: Sekelompok sahabat berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.”Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Bukankah Allah telah menjadikan untukmu sesuatu yang dapat disedekahkan? (Yakni) bahwa setiap kali tasbih (bacaan subhnallah) adalah sedekah, setiap kali tahmid (bacaan alhamdulillah) adalah sedekah,setiap kali tahlil (bacaan la ilaha ilallah) adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan jimaknya salah seorang diantara kalian juga adalah sedekah.”Mereka bertanya,”Wahai Rasulullah,apakah jika salah seorang dari kami memenuhi hajat syahwatnya berpahala? “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Menurutmu ,bukanlah jika ia menyalurkan syahwatnya pada yang haram berdosa? Maka demikian pula apabila ia menyalurkannya pada yang halal, ia mendapatkan pahala.” (Diriwayatkan pada yang halal,ia mendapatkan pahala.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa'alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf
Firman Allah ta'ala yang artinya
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah.
Perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.
Berikut pendapat Imam Syafi’i ra
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ .
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Contoh perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi muamalah, kebiasaan atau adat adalah
1. Kebiasaan memberikan sedakah kepada anak yatim setiap hari Jum’at sebelum sholat Jum’at bukanlah perkara terlarang karena tidak menyalahi satupun laranganNya
2. Kebiasaan membaca surah al Ikhlas setiap rakaat kedua
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb telah menceritakan kepada kami Amru dari Ibnu Abu Hilal bahwa Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman menceritakan kepadanya dari Ibunya Amrah binti Abdurrahman yang dahulu dalam asuhan Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus seorang laki-laki dalam sebuah eskpedisi militer, lantas laki-laki tersebut membaca untuk sahabatnya dalam shalatnya dengan QULHUWALLAHU AHAD (Surat al Ikhlash) dan menutupnya juga dengan surat itu. Dikala mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tolong tanyailah dia, mengapa dia berbuat sedemikian? ‘ Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, ‘Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya. (HR Bukhari 6827)
Diriwayatkan ketika Imam Masjid Quba setiap kali sholat ia selalu membaca surat Al Ikhlas, setiap sholat ia selalu membaca surat Al Fatihah, Al Ikhlas, baru surat lainnya. Ada orang yang mengadukannya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu? Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” , Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
3. Kebiasaan menjaga wudhu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada Bilal ketika shalat Shubuh: “Hai Bilal, katakanlah Kepadaku apakah amalanmu yang paling besar pahalanya yang pernah kamu kerjakan dalam Islam, karena tadi malam aku mendengar derap sandalmu di dalam surga? ‘ Bilal menjawab; ‘Ya Rasulullah, sungguh saya tidak mengerjakan amal perbuatan yang paling besar pahalanya dalam Islam selain saya bersuci dengan sempurna, baik itu pada waktu malam ataupun siang hari. lalu dengannya saya mengerjakan shalat selain shalat yang telah diwajibkan Allah kepada saya.” (HR Muslim 4497)
4. Kebiasaan Imam Syafi’i bersholawat dengan sholawat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Al- Mazani bertutur sebagai berikut: Saya bermimpi melihat Imam Al-Syafi’i. Lalu saya bertanya pada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah terhadap diri Anda?”
Beliau menjawab, Allah telah mengampuni diriku berkat shalawat yang aku cantumkan di dalam kitab Al-Risalah, yaitu: Allahumma shalli ‘ala Muhammadin kullama dzakaraka al-Dzakiruna wa Shalli ‘ala Muhammadin kullama ghafala ‘an dzikrik al-Ghafiluna.”
Jadi boleh kita membuat sholawat sebagaimana kita ingin mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selama matan atau redaksi sholawat tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
5. Kebiasaan memperingati Maulid Nabi adalah kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula memperingati hari kelahiran diri sendiri dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di akhirat kelak adalah bukan perkara dosa atau terlarang.
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)
Kemungkinan terjadi kesalahan adalah cara kita mengisi peringatan Maulid Nabi atau cara kita mengisi peringatan hari kelahiran itu sendiri seperti janganlah berlebih-lebihan atau bermewah-mewahan.
Sedangkan peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Berikut penjelasan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat tentang Maulid Nabi
Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi): “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam“.
Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah, dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi shallallahu alaihi wasallam”
Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah, dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.
Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai hari besar”.
6. Kebiasaan membaca surat Yasin setiap malam Jum’at.
Bagi mereka yang berpegang hanya pada hadits yang telah terbukukan saja, menganggap kebiasaan ini tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebiasaan Rasulullah yang terbukukan adalah membaca surat Al Kahfi setiap malam Jum’at.
Sedangkan perlu kita ingat bahwa jumlah hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits)
Oleh karenanya kita dapat menanyakan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena mereka mendapatkan pengajaran agama dalam bentuk lisan maupun praktek yang didapatkan dari orang tua mereka secara turun temurun tersambung kepada apa yang disampaikan dan dipraktekan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Wasallam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
link dokumen :\
https://www.facebook.com/groups/kasarung/doc/647982788559796/